Dalam Dekapan Kabut Tanggamus May 10, 2007
Dengan ketinggian 2.400 meter di atas permukaan laut, Gunung Tanggamus tak sekedar gunung tertinggi kedua di Provinsi Lampung, setelah Gunung Pesagi di Kabupaten Lampung Barat. Gunung, ikon Kabupaten Tanggamus ini, menawarkan wisata petualangan yang memikat bagi mereka yang gemar mendaki.
Dalam sebuah surat-e, Asep Gustian, penggagas Yayasan Wisata Alam Lampung (Yawisal), memberi tahu saya tentang rencana mendaki Gunung Tanggamus. Gunung yang merupakan hutan kawasan seluas 40.000 hektare ini, surga hidup bagi ragam flora maupun fauna. “Minggu, 19 Maret 2006, kita bertolak ke Gunung Tanggamus,” tulis Asep.
Yawisal bergerak di bidang pemanduan wisata alam pendakian gunung. Yayasan ini baru saja digagas dan dibentuk oleh para aktivis kelompok pecinta alam di Provinsi Lampung. Tujuannya, menginventarisasi objek-objek wisata alam sekaligus mempersiapkan tenaga-tenaga pemandu wisata bagi para wisatawan yang ingin menikmati keindahan alam pegunungan di Provinsi Lampung. “Lampung kaya akan objek wisata alam, tetapi informasinya masih sangat terbatas. Yawisal yang akan memeloporinya,” kata Asep.
Informasi dari Asep Gustian ini tidak saya sia-siakan. Ia juga menyinggung habitat flora dan fauna yang banyak dijumpai di hutan kawasan yang terbilang masih perawan itu. Semua informasi itu membuat keinginan lama saya untuk menaklukkan puncak Gunung Tanggamus kembali menggelora di dada.
Minggu (19/3) pagi, rombongan kami telah siap. Asep Gustian bersama Johari dan Aris Munandar, aktivis kelompok pecinta alam, yang banyak menimba ilmu dari Wanadri. Ada juga Rahmat Sudirman, Syafulloh, dan Helena Fransiska, kalangan jurnalis yang sengaja diundang untuk menikmati wisata alam di Gunung Tanggamus.
Tepat pukul 10.00, kami bertolak dari Bandar Lampung, ibu kota Provinsi Lampung. Asep memberitahu, sekitar satu setengah jam perjalanan, kami akan tiba di Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus. Dari Gisting, ada jalur tracking, merambat di kaki Gunung Tanggamus dengan kemiringan sekitar 40 derajat.
Udara di Gisting begitu bersahabat ketika kami tiba. Kami berhenti di desa terakhir, Pekon (Desa) Tanggamus, tepat di kaki Gunung Tanggamus. Kesegaran aroma pepohonan dan alam yang asri merambat menggusur aroma polusi dan hingar-bingar Kota Bandar Lampung dari dada. Saya merenguk udara itu banyak-banyak ke dalam paru-paru sambil menatap jauh ke depan, puncak Gunung Tanggamus yang diselimuti kabut tebal. Sayup-sayup raung siamang terdengar di kejauhan, karena kawasan ini termasuk salah satu habitat asli moyet tanpa ekor itu.
Basecamp Sonokeling
Asep, Johari, dan Aris, yang pernah mencapai puncak Gunung Tanggamus pada tahun 1996, memberitahu jalur tracking yang akan kami tempuh. Dari Pekon Tanggamus kami mulai pendakian, sekitar pukul 12.30 Wib. Dalam hitungan normal, sekitar 2 jam, kami akan mencapai Basecamp Sonokeling.
Basecamp ini berada di kawasan hutan sonokeling, pepohonan yang ditanam Dinas Kehutanan Provinsi Lampung 30 tahun lalu sebagai bagian dari program rehabilitasi sabut hutan kawasan Gunung Tanggamus. Hutan sonokeling ini sekaligus penunjukkan batas hutan kawasan Gunung Tanggamus yang tidak terjamah tangan manusia.
Dan benar, sepanjang perjalanan dari Pekon Tanggamus menuju Basecamp Sonokeling, kami menyaksikan bentangan kebun sayur-mayur yang luas. Lereng-lereng yang merupakan sabuk hutan kawasan, berubah menjadi areal perkebunan penduduk. Tidak jarang kami berpapasan dengan petani yang sedang panen berbagai jenis sayur-mayur seperti sawi, kol, worlel, kentang, cabai, terong, dan bawang. Daerah ini terkenal sebagai sentra sayur-mayur untuk dijual kepada para pedagang penampung yang akan membawanya ke pasar-pasar di Kota Bandar Lampung maupun ke Pulau Jawa.
Beberapa petani sempat kami ajak ngobrol, dan hal ini membuat waktu yang kami perkirakan menjadi meleset. Dua jam perjalanan yang kami perkirakan, dari Pekon Tangamus menuju Basecamp Sonokeling, ternyata molor menjadi empat jam. Kami tiba di Basecamp Sonokeling sekitar pukul 16.00 Wib. Langit mulai gelap dan raung siamang telah hilang. Perlahan kabut mulai turun, jatuh seperti selendang.
Asep memutuskan, kami bermalam dan mendirikan tenda di Basecamp Sonokeling. Basacamp ini berada pada ketinggian 700 meter di atas permukaan laut. Uap dingin kabut mulai menyengat, dan serangga-serangga malam mulai meraung. Di bawah rimbun dedauan pohon sonokeling berusia 30 tahun, kami mendirikan tenda. Kami butuh istirahat untuk mengumpulkan tenaga guna menempuh perjalanan besok pagi ke puncak Gunung Tanggamus
Sepanjang malam Asep, Johari, dan Aris berganti bercerita tentang pengalaman pertama mereka mencapai puncak Gunung Tanggamus. Cerita-cerita yang membuat keinginan saya semakin besar ingin menikmati semuanya secara langsung.
Ragam Flora dan Fauna
Pagi harinya, sekitar pukul 09.00 Wib, kami bergerak merambati lereng Gunung Tanggamus dengan kemiringin 30-40 derajat. Asep, Johari, dan Aris memberi tahu, seharusnya kami tidak membawa semua barang ke puncak agar perjalanan lebih mudah. Kami bisa meninggalkannya di Basecamp Sonokeling, sehingga perjalanan tidak terlalu dibebani. “Biasanya para pendaki meninggalkan sebagian barang-barang di Basecamp Sonokeling,” kata Asep.
Tapi, anggota rombongan menolak dengan alasan agar nuansa pendakian lebih kental. Terbayang kami mencapai puncak dengan beban yang begitu berat. Ada kesan yang luar biasa ketika beban itu sampai di puncak.
Ternyata Asep benar. Beban yang penuh, betul-betul menyusahkan dan membuat langkah kami terhambat. Medan yang kami tempuh, jalan yang berupa akar-akar pohon, udara dingin, lembah, dan batu terjal, batang-batang pohon berlumut, jauh dari jalur tracking yang sudah digambarkan Asep, Johar, dan Aris.
Menurut Asep, Aris, dan Johari, jalur tracking ke puncak Gunung Tanggamus berubah total. Sejak 1996 lalu, terkahir sekali mereka mencapai puncak Gunung Tanggamus, jalur berubah sama-sekali. Banyaknya pohon rubuh dan konstur lereng gunung yang bergeser menjadi penyebabnya. Rombongan kami berjalan sambil meraba-raba.
Semua ini memperlambat langkah kami. Apalagi Ramhat dan Helena mulai kehabisan tenaga, tersita oleh beban di punggung mereka. Belum lagi jalan yang licin karena lumut tebal, ditambah udara dingin oleh kabut yang menutupi sampai ke batang-batang pohon. Tidak jarang kami terpaksa berpegangan kepada batang-batang rotan, yang meninggalkan luka-luka goresan pada tapak tangan.
Untung sekali, sepanjang perjalanan kami dihibur ragam flora dan fauna yang menawan. Rumpun anggrek pada batang-batang pohon yang rubuh, menawarkan pesona kelopak bunganya yang indah. Kantong semar yang menggelantung, ragam jamur warna-warni, dan kicau burung-burung yang riuh. Dua ekor burung ekor kipas warna hitam, terlihat selalu mengikuti langkah kami, tiap sebentar melintas di hadapan rombongan.
Sekali-sekali anis kembang, murai ekor panjang, kutilang emas, cucak rawa, dan burung pipit menyajikan lantunan musik alam yang menawan, diperkaya warna-warni bulu mereka yang menyala. Di kejauhan, jauh di pucuk-pucuk pohon dengan diameter satu sampai tiga meter, suara rangkong berkoak.
Dan akhirnya, kami sampai di shelter 1 pada ketinggian 1.900 meter di atas permukaan laut. Istirahat dekat pohon beringin, tak sengaja saya melongok ke bawah akar pohon yang membentuk sebuah gua. Ajaib, seekor sanca batik warna kuning tanah melingkar di dalamnya. Ada khawatir hewan itu terganggu, saya menyarankan kami melanjutkan perjalanan.
Dalam Dekapan Kabut dan Malam
Dari shelter 1, Asep memperkirakan tinggal 45 menit perjalanan sebelum mencapai puncak. Terbayang puncak gunung dalam 45 menit ke depan, kami menjadi lebih bersemangat. Tapi, 45 menit berlalu, puncak tidak kunjung tercapai. Lagi-lagi, jalur tracking yang berubah menyebabkan perkiraan meleset. Ternyata puncak masih jauh, kami mengetahuinya dari jenis tetumbuhan di sekitar kami.
Tanpa terasa, kami akhirnya berada di kawasan hutan lumut dengan suhu di bawah 15 derajat celcius. Sejauh mata memandang, lumut tampak dimana-mana. Tetes air bergulir dari permukaannya, jatuh dalam bentuk paling bening. Kami bergantian menyedot air dari lumut, karena persediaan air minum telah tandas.
Batang-batang pohon yang rubuh, juga penuh lumut. Ini memperlambat perjalanan kami, karena harus ekstra hati-hati. Selip sedikit, bisa tergelincir, dan lereng gunung dengan kemiringan 50-60 derajat siap menelan kami. Belum lagi gumpalan batu cadas dan rimbun batang-batang rotan penuh duri.
Waktu terasa cepat berputar. Jarum jam bergulir pada angka 6.00, memasuki waktu Magrib. Kabut tebal mendadak turun, menutupi permukaan jalur tracking. Bersamaan dengan mengatupnya langit, malam perlahan merambat. Kami terperangkap di hutan lumut dalam dekapan kabut tebal dan malam kelam. Hal seperti ini yang kami khawatirkan, sementara puncak tak kunjung tergapai.
Tiba-tiba Asep menyarankan rombongan dibagi dua. Saya, Asep, dan Syaifulloh membentuk rombongan pertama. Kami melangkah di depan, mencoba membuka jalur tracking dalam gelap malam. Berharap bisa mencapai puncak, untuk kemudian menjemput rombongan kedua.
Udara dingin, kabut tebal, dan malam, melengkapi perjalanan kami. Asep menyebut kami telah mencapai ketinggian 2.000 meter di atas permukaan laut. Itu artinya, tinggal 400 meter lagi dari 2.400 meter di atas permukaan laut ketinggian Gunung Tanggamus. Ini menambah semangat kami untuk mencapai puncak. Setengah berlari, Asep dan Syaifulloh melesat mendahului. Sementara saya kembali ke rombongan kedua, memberi tahu bahwa puncak telah kami capai.
“Angin segar” itu sengaja saya tiupkan. Berhasil, rombongan kedua terlihat lebih bersemangat. Setengah berlari, kami menuju puncak. Dalam hitungan menit, sampai juga akhirnya. Sepotong dataran seluas 5×12 meter, dan angin badai menyambut kami dalam gigil yang menyengat. ***